Minggu, 19 November 2017
DEMI LESTARIKAN KEARIPAN LOKAL KIYAI KAMPUNG, PC GP ANSOR KBB SELENGGARAKAN HALAQOH AJENGAN SARUNGAN
Padalarang, GP Ansor KBB, Sebagai salah satu wujud perhatian terhadap kelestarian kearipan lokal kiyai kampung, Pimpinan Anak Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bandung Barat meyelenggarakan kegiatan Halaqoh Ajengan Sarungan, Kamis, 16/11/2017 tempat di Aula Kantor PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Bandung Barat. Kegiatan yang dihadiri oleh seluruh ketua Rijalul Ansor dan Ketua PAC GP Ansor se Kabupaten Bandung Barat serta perwakilan dari pondok pesantren yang ada di KBB ini mengusung tema “Merawat Tradisi Menjaga Islam Nusantara”.
Tampil sebagai pembicara dalam Halaqoh Ajengan Sarungan ini adalah KH. Chepy Hibatulloh dan Ketua Rijalul Ansor Kabupaten Bandung Barat, KH. Aceng Abdul Kholiq. Dalam paparannya, KH. Chepy Hibatulloh menjelaskan bahwa Kiyai NU yang ajengan sarungan sudah saatnya tampil ke depan dalam menjaga tradisi ke-NU-an. NU dengan Islam Nusantaranya, Islam yang Rahmatallil ‘alamin sudah banyak diakui oleh negara-negara di dunia yang garis perjuangannya konsen untuk menjaga perdamaian dunia. Negara besar sekelas Saudi Arabia saja yang dulu terkenal dengan Negara Wahabi, saat ini sudah mulai menerapkan garis-garis perjuangan atau faham-faham ke-NU-an. “Sehingga sudah selayaknya kita sebagai kader muda NU berkewajiban untuk merawat tradisi NU dan menjaga Islam Nusantara agar lebih kuat berdiri di NKRI ini” imbuhnya.
Menurut Ketua PC GP Ansor Kabupaten Bandung Barat, Cecep Nedi Sugilar, M.Pd, acara ini bertujuan untuk melestarikan kearipan lokal ‘kiyai kampung’ agar terus eksis di masyarakat yang saat ini sudah mulai terpinggirkan dan terlupakan. “Ini salah satu bentuk kepedulian kami kepada para orang tua kami agar perjuangan mereka tetap dikenang oleh siapa pun” tuturnya.
Lebih lanjut Cecep Nedi Sugilar mengungkapkan bahwa jasa para kiyai atau ajengan kampung tidak bisa dipandang sebelah mata, apalagi dilupakan. “Dulu titik perjuangan untuk mendirikan negeri ini sebenarnya berasal dari pondok-pondok pesantren yang sedikit kumuh terbuat dari bambu yang sudah reyot dimakan usia. Akan tetapi semangat perjuangan para santri sarungan yang dikomandani oleh para ‘ajengan kampung’ mampu menggelorakan semangat mereka. Kita masih ingat akan peristiwa 10 November, di mana para santri dan ajengan kampung dengan bersarung menenteng senjata maju ke medan perang melawan tentara Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia” ungkapnya. (AAR)